A.
PENDAHULUAN
Kemajuan
ilmu dan teknologi berkembang dengan
pesat diberbagai bidang, termasuk dalam bidang
pangan, kemajuan teknologi ini membawa dampak positif maupun negatif.
Dampak positif teknologi tersebut mampu meningkatkan kuantitas dan kualitas
pangan, juga meningkatkan diversivikasi, hygiene, sanitasi, praktis dan lebih
ekonomis. Dampak negatif kemajuan
teknologi tersebut ternyata cukup besar bagi kesehatan konsumen dengan adanya
penggunaan zat aditif yang berbahaya.
Pola
kehidupan masa kini dicirikan dengan tingginya biaya hidup, emansipasi atau
karena alasan lain menyebabkan wanita bekerja diluar rumah. Data statistik
tahun 2002 menunjukkan bahwa wanita yang bekerja pada angkatan kerja berjumlah
33,06 juta atau 44,23% dari jumlah total usia wanita antara 15-60 tahun (BPS,
2002). Wanita sebagai ibu rumah tangga dan
sebagian lain berprofesi bekerja di luar rumah, karena keterbatasan waktu dan
kesibukan, serta sulitnya mencari pramuwisma menyebabkan makanan siap saji
menjadi menu utama sehari-hari di rumah.
Ritme
kehidupan yang menuntut segala sesuatu serba cepat, waktu terbatas, anak harus
pergi sekolah sementara ibu dan bapak harus segera berangkat kerja, sebagai
jalan pintas untuk sarapan disediakanlah makanan siap saji yang memakan waktu
penyiapan 3 sampai 5 menit. Siang hari
pulang sekolah ibu dan bapak masih bekerja dikantor, anak-anak kembali menikmati
makanan siap saji ini. Selain mudah
disajikan makanan ini umumnya mempunyai
cita rasa yang gurih dan umumnya disukai, terutama oleh anak-anak usia sekolah.
Masalah
lain yang jadi fenomena dimasyarakat adalah tersedianya berbagai jajanan yang
dikemas dapat dipastikan “kaya” zat
aditif. Tercatat 13 jenis snack mengandung bahan aditif dalam kandungan yang
cukup tinggi (Republika, 2003).
Menurut
Majeed (1996) zat aditif dapat dibagi menjadi
beberapa kelompok berdasarkan tujuan penggunaannya, yaitu: 1) agen
emulsi yaitu aditif yang berbahan lemak dan air contohnya lecitin 2) agen
penstabil dan pemekat contohnya alginat dan gliserin, 3) agen penghalang kerak
untuk mencegah penggumpalan, 4) agen peningkatan nutrisi contohnya berbagai
vitamin, 5) agen pengawet contohnya garam nitrat dan nitrit, 6) agen
antioksidan contohnya vitamin C dan E ; BHT (Butylated Hydroxy-Toluen) dan BHA
(Butylated Hydroxy-Anisol), 7) agen
pengembang untuk roti dan bolu, 8) agen penyedap rasa contoh monosodium
glutamat (MSG), 9) bahan pewarna.
Selain kesembilan zat aditif diatas Denfer (2001) juga menyatakan
terdapat bahan lain yang ditambahkan dalam makanan diantaranya: 1) agen
peluntur, 2) lemak hewani, 3) bahan pengasam, 4) bahan pemisah, 5) pati
termodifikasi, 6) alkohol, dan 7) gelatin .
Dewasa
ini, makanan tradisional seperti tiwul dan gatot sudah mulai ditinggalkan,
karena dianggap tiwul bukan makanan yang layak dikonsumsi, kedua, tiwul makanan
orang miskin, ketiga, tiwul makanan yang dikonsumsi karena terpaksa akibat persediaan
beras habis.
Pandangan
seperti itu justru memperlemah ketahanan pangan kita, dan menghambat
diversifikasi pangan untuk memperoleh gizi seimbang. Masyarakat akan malu kalau
tidak makan nasi (beras), malu makan singkong, ubi jalar dan banyak lagi sumber
karbohidrat negeri ini yang layak dikonsumsi. Pemenuhan kebutuhan karbohidrat
masyarakat kita saat ini memang masih didominasi oleh beras. Indonesia
merupakan salah satu negara pemakan beras tertinggi di dunia.
Tidak
mengherankan bahwa hampir 60 persen konsumsi karbohidrat kita, didominasi oleh
padi-padian. Padahal menurut ahli gizi, harusnya seimbang antara padi- padian
dan umbi-umbian dan lainnya. Hal inilah yang harus dikoreksi agar tercipta
sumberdaya manusia yang sehat. Masalah pangan bukan hanya soal ketersediaan,
seperti pemikiran tahun 1960an. Walaupun ketersediaan cukup, apabila sulit
didistribusikan dengan harga terjangkau, maka pangan tidak akan merata diakses
oleh keluarga. Maka aspek distribusi juga sangat menentukan ketahanan pangan
dan asupan gizi bagi anggota keluarga. NTB misalnya selalu mengalami surplus
beras setiap tahunnya, namun rawan pangan juga terjadi.
Faktor
lain yang sangat penting adalah daya beli masyarakat untuk memenuhi konsumsi
yang memenuhi syarat gizi seperti energi dan protein. Dari data yang ada
sebenarnya ketersediaan energi dan protein domestik telah melebihi kebutuhan.
Namun, sebahagian masyarakat kita masih kekurangan kalori dan protein, karena
daya beli yang rendah, dan kurang memahami keberagaman sumber pangan yang ada.
Kekeliruan
mendasar dalam ketahanan pangan kita adalah persepsi masyarakat bahwa pangan
itu identik dengan beras. Padahal sebenarnya sejak dahulu telah tumbuh budaya
lokal (local wisdom) mengkonsumsi non-beras dalam pola makannya yang terbentuk
dari keyakinan, tata-nilai, dan perilaku masyarakat.
Untuk
Papua dan Irian Jaya Barat misalnya, mereka makan umbi-umbian dan sagu. Ubi
jalar ternyata punya kelebihan dibanding beras. Ubi jalar lebih unggul vitamin
A, karotenoid, vitamin C serta serat dibandingkan dengan beras. Tidak
mengherankan mengapa orang Jepang gandrung mengkonsumsi ubi jalar yang
merupakan salah satu komponen tempura.
Di
berbagai daerah di Indonesia makanan pokok masyarakat adalah tiwul. Contohnya
di Jawa timur, yaitu Kabupaten Nganjuk, Kediri, Trenggalek, Tulungagung,
Pacitan, Lumajang, Malang Selatan, dan Kabupaten Gunung Kidul DIY.
Di
beberapa daerah tersebut tanpa tiwul dalam satu hari serasa belum
kenyang-merasa tenaganya kurang. Artinya mengkonsumsi tiwul bukan berarti
keadaan masyarakat itu miskin, rawan pangan, kelaparan, tetapi merupakan
budaya/perilaku pola makan masyarakat setempat. Kalau kita mengunjungi kampung
Cirendeuy di Cimahi Jawa Barat yang seluruh masyarakatnya penganut ajaran
Penghayat, mereka sangat menjunjung ajaran nenek moyangnya dalam mempertahankan
pola konsumsi non-beras yaitu limbah aci atau ampas singkong yang mereka sebut
nasi.
Harus
diakui bahwa bahan pangan dari umbi-umbian (ubi kayu, ubi jalar, garut, talas,
gadung, ganyong, gembili dan suweg) dalam bentuk segar memiliki kandungan
kalori dan protein yang rendah. Karakteristik rendah kalori ubi segar dapat
dihilangkan dengan memprosesnya menjadi bahan kering berupa irisan atau tepung
dengan kadar air setara beras aman simpan.
Kandungan
protein tepung ubi dapat ditingkatkan dengan menambahkan tepung kacang-kacangan
sehingga menjadi tepung komposit. Tiwul merupakan salah satu bentuk olahan
pangan dengan bahan baku ketela pohon yang dikeringkan, kemudian ditepung.
Penganekaragaman
pangan antara lain melalui pengembangan tiwul instan merupakan alternatif yang
paling rasional untuk memecahkan permasalahan kebutuhan pangan (khususnya
karbohidrat). Penataan pola makan yang tidak tergantung pada satu sumber pangan
(beras), memungkinkan tumbuhnya ketahanan pangan keluarga yang pada akhirnya
dapat meningkatkan ketahanan pangan nasional.
B. PERKEMBANGAN
MUTAKHIR
Seiring
berkembangnya makanan instan di dunia khususnya di Indonesia makanan
tradisional pun sudah dirombak menjadi makanan instan. Beberapa makanan
tradisional yang telah dikembangkan menjadi makanan instan diantaranya bubur jagung instan, gatot instan, dan tiwul
instan.
1. Tiwul
Instan
` Nasi tiwul adalah makanan
tradisional yang terbuat dari singkong/ketela pohon, yang umumnya masih diolah
secara tradisional oleh para penduduk. Tapi sekarang ini sudah ada tiwul yang
berbentuk kemasan, namanya tiwul instan,
Umbi
singkong (ketela pohon/cassava) sudah sejak lama dikenal masyarakat Indonesia
sebagai salah satu bahan makanan yang cukup penting sebagai sumber asupan
karbohidrat.
Selama
ini masyarakat di pedesaan biasanya mengkonsumsi singkong dengan cara dimasak
langsung (direbus, dikukus dan digoreng) atau dikeringkan terlebih dahulu di
bawah terik matahari untuk dijadikan gaplek. Sebelum dimasak, gaplek biasanya
ditumbuk terlebih dahulu menjadi tepung gaplek untuk selanjutnya dimasak dengan
cara dikukus menjadi makanan yang dikenal dengan sebutan tiwul.
Sebagian
masyarakat di pedesaan ada juga yang memanfaatkan umbi singkong sebagai bahan
dasar pembuatan tape (di wilayah Jawa Barat dikenal dengan istilah peuyeum
sampeu) melalui proses fermentasi dengan menggunakan ragi tape. Produk makanan
berbahan baku umbi singkong khususnya goreng singkong dan tape sebetulnya sudah
cukup memasyarakat sebagai makanan ringan yang banyak dijajakan oleh para
pedagang makanan gorengan.
Berbeda
dengan gorengan umbi singkong yang relatif banyak dikenal anggota masyarakat,
makanan tiwul sampai saat ini masih belum begitu populer di masyarakat,
terutama di perkotaan mengingat proses pembuatannya yang relatif cukup memakan
waktu. Namun dari sisi pembentukan cadangan pangan, cara pembuatan tiwul yang
melalui tahapan pembuatan gaplek sebetulnya memiliki kelebihan dibandingkan
dengan konsumsi umbi singkong secara langsung. Sebab, gaplek bisa tahan
disimpan lebih lama ketimbang disimpan dalam bentuk umbi singkong biasa.
Gaplek
singkong yang diolah secara tradisional menjadi tiwul selama ini belum begitu
dikenal sebagai sumber bahan makanan pokok masyarakat. Selain karena proses
pembuatannya yang cukup memakan waktu, tiwul tradisional juga memiliki
kandungan gizi yang relatif rendah jika dibandingkan dengan jenis makanan
lainnya
Namun
demikian dari sisi ketahanan pangan, pemberdayaan tiwul sebagai alternatif
sumber makanan tetap perlu diperhitungkan. Lebih-lebih apabila sentuhan
teknologi dapat mengatasi kendala ketidakpraktisan dan lamanya waktu proses
penyiapan makanan tiwul. Sentuhan teknologi kembali diharapkan dapat mengatasi
persoalan rendahnya kandungan gizi dalam bahan makanan tiwul melalui proses
fortifi kasi (pengayaan kandungan nutrisi dengan berbagai zat gizi yang
dibutuhkan tubuh manusia).
Pemberdayaan
tiwul sebagai salah satu alternatif sumber makanan bagi masyarakat diyakini
dapat memperkuat ketahanan pangan nasional. Sebab, pemberdayaan tiwul sebagai
sumber alternatif makanan masyarakat dapat mensukseskan program diversifi kasi
pangan di dalam negeri. Dengan demikian, pemberdayaan tiwul dapat turut
mengurangi ketergantungan masyarakat terhadap sejumlah bahan pangan utama
seperti beras, terigu, jagung, kedelai dll.
Penelitian
terkini tentang tiwul instan :
a.
Studi pembuatan kudapan tiwul instan
dari tepung ubi kayu (Manihot utilissima)
varietas kaspro dengan penambahan berbagai jenis tepung kacang-kacangan.
b. Nutrifikasi tiwul instan dengan
tepung telur (kajian dari kadar protein dan sifat organoleptik)
c.
Potensi, kendala dan peluang
pengembangan agroindustri berbasis pangan lokal ubi kayu
Dalam
perkembangannya, tiwul dapat menjadi pangan alternatif atau makanan fungsional
yang dapat memembus kalangan menengah perkotaan layaknya roti atau mie. Hal ini
dapat terwujud dengan lahirnya produk tiwul instan yang dikemas dengan kemasan
plastik yang menarik. Selain memperpanjang masa simpannya, diharapkan dengan
ditawarkannya produk siap saji dalam bentuk tiwul instan akan dapat
meningkatkan antusiasme masyarakat untuk mengkonsumsinya, sehingga tujuan dari
penganekaragaman pangan yang mendukung terciptanya ketahanan pangan dapat
terwujud.
Cara pembuatan tiwul instan:
Bahan :
•Ubi kayu kuning
•Tepung tempe
Alat-alat :
•Seperangkat alat dapur
•Kompor
•Penggiling
Proses Pembuatan:
1) Persiapan bahan meliputi,
pengupasan, pemotongan dan pencucian, kemudian dilakukan penjemuran dibawah
sinar matahari atau menggunakan alat pengering hingga kering (ka. 12%).
2) Setelah ubi kayu kering dilakukan
penggilingan hingga menjadi tepung.
3) Tepung gaplek dicampur secara merata
dengan tepung tempe (15%).
4) Pengukusan dilakukan untuk
mematangkan adonan dan dilakukan selama 20-25 menit dengan suhu 85-90°C
sehingga dihasilkan tiwul.
5) Tiwul yang telah dikukus dikeringkan
kembali dalam oven atau sinar matahari sehingga cukup kering (diperoleh tiwul
instan), sebelum dikemas tiwul harus didinginkan terlebih dahulu pada suhu
ruang.
2. Gatot
Instan
Di
Jawa Tengah dan Jawa Timur, orang mengenal gatot sebagai makanan orang susah.
Jika beras mahal atau sawah mengalami kekeringan, orang desa masih sering
mengonsumsi makanan olahan singkong ini. Kita masih bisa menjumpai makanan ini
di sejumlah daerah, seperti Kabupaten Wonogiri di JawaTengah, Gunung Kidul,
Yogyakarta, dan Blitar di Jawa Timur. Bahkan pada saat penjajahan Jepang, gatot
pernah menjadi makanan pokok orang-orang desa karena sulitnya mendapatkan beras
pada saat itu.
Dari
tampilannya, gatot memang membuat beberapa orang tidak berselera untuk
memakannya karena warnanya yang hitam dan lengket. Gatot sendiri sebenarnya
berasal dari gaplek (singkong -Manihotesculenta/Manihot utillisima- yang telah
dikupas dan dikeringkan), namun dipilih yang kehitaman. Belum jelas juga
mengapa warnanya bisa kehitaman. Beberapa sumber mengatakan, warna tersebutdiperoleh
dari semacam jamur (kapang) yang tumbuh akibat proses penjemurannya yang sangat
lama(sekitar 1 minggu) dan disertai proses menghujan-hujankan atau dapat pula
diperoleh dari prosespemeraman dalam wadah tertutup hingga berjamur. Keberadaan
jamur pada singkong, menyebabkanterjadinya proses fermentasi yang membuat pati
dalam singkong rusak dan (mungkin) lebih mudahdicerna. (darikompas, dengan
perubahan)
Walaupun
makanan ini terlihat ‘ekstrim’, namun sampai saat ini jarang ada laporan
terjadinyakeracunan. Satu-satunya laporan keracunan yang didapat, keracunan
tersebut disebabkan karena padasaat penjemuran gaplek yang akan dijadikan gatot
mengalami kontaminasi limbah karena dijemur ditepi sungai. Malah, menurut dosen
IBM (ilmu bahan makanan) di kampus (aku lupa siapa.. oh,dosen,, maafkan
muridmu.. :D) singkong yang telah dikeringkan (dengan proses yang bersih)
lebihaman dikonsumsi dari singkong biasa, karena pada saat pengeringan, racun
alami pada singkong ;linamarin dan lotaustralin (jenis racun sianida) akan ikut
menguap.Proses pembuatannya :Membuat gatot diawali dengan proses merendam
gaplek yang kehitaman dalam waktu semalaman.Setelah itu, air rendamannya
dibuang dan gaplek hitamnya kemudian dicuci bersih dan dikecil-kecilkan. Karena
sudah mengalami perendaman, gaplek jadi mudah untuk dipotong-potong. Proses
selanjutnya, gaplek hitam lunak yang sudah dicuil-cuil itu kemudian ditanak,
layaknya menanak nasi.Sekitar dua jam kemudian, diangkat dari tungku serta
ditata dalam tampah agar cepat dingin. (dari suara merdeka.com dengan sedikit
perubahan)
Kandungan
gizi :Kandungan asam amino atau protein dalam gatot lebih besar daripada pada
singkong, karenakeberadaan jamur yang memproduksi asam amino dari bahan pati
singkong.Nilai gizi gaplek sendiri sebagai sumber karbohidrat lebih tinggi
dibandingkan beras. Setiap 100 gr mengandung 35,3 gram. Namun, kandungan zat
lain yang terdapat pada singkong (vitamin danmineral) relatif lebih kecil
daripada beras, terutama setelah pengolahan. Meskipun begitu, singkong danolahannya
memiliki kandungan serat yang lebih tinggi daripada beras. Oleh karena itu
perlu diolahmenjadi makanan pelengkap dengan cara mengkombinasikan dengan
pangan lainnya yang mempunyainilai gizi lebih tinggi maka akan sangat
bermanfaat sebagai bahan pangan.
Cara
membuat Gatot instan:
Bahan:
½
kg gathot instant
2
ltr air
½
btr kelapa parut, kukus.
½
sdt garam halus.
Cara
membuatnya:
1.
Rendam Gathot (gaplek) dalam air selama 30 menit, angkat, tiriskan.
2.
Kukus dalam dandang yang sudah beruap selama 20 menit.
3.
Sajikan bersama kelapa parut.
4.
Jika suka, Gathtot bisa juga diberi gula jawa secara acak saat dikukus.
C.
PENUTUP
a. Kesimpulan
Pangan
instan adalah prodak makanan yang diolah sedemikian rupa sehingga konsumennya
dapat secara instan menggunakannya. Ada banyak jenis makanan yang beredar
didunia seperti mi instan, bubur instan, nasi goreng instan, santan instan, dan
makanan tradiasional instan pun juga mudah didapatkan, seperti tiwul dan gatot
instan. Makanan tradisional asli seperti tiwul dan gatot sudah mulai
ditinggalkan, karena dianggap tiwul bukan makanan yang layak dikonsumsi, kedua,
tiwul makanan orang miskin, ketiga, tiwul makanan yang dikonsumsi karena
terpaksa akibat persediaan beras habis.
Pandangan
seperti itu justru memperlemah ketahanan pangan kita, dan menghambat
diversifikasi pangan untuk memperoleh gizi seimbang. Masyarakat akan malu kalau
tidak makan nasi (beras), malu makan singkong, ubi jalar dan banyak lagi sumber
karbohidrat negeri ini yang layak dikonsumsi. Pemenuhan kebutuhan karbohidrat
masyarakat kita saat ini memang masih didominasi oleh beras. Indonesia
merupakan salah satu negara pemakan beras tertinggi di dunia
b. Daftar
Pustaka
http://www.shvoong.com/medicine-and-health/1639515-dampak-makanan-siap-saji
bagi/#ixzz1ZscJuAg
COPAS : tetangga http://sehatceriaavail.blogspot.com/2012/01/pangan-instan-tiwul-dan-gatot-instan.html